Hari Baik dan Tata Keseimbangan Alam
Pulau Jawa menyimpan pesona bagi tiap insan yang merindukan ketentraman atas gejolak bathin yang dialaminya. Keharmonisan semesta dan manusia terjaga melalui kebudayaan luhur yang lestari di tengah arus modernisasi tanpa batas. Keselarasan itu bersumber dari kebiasaan orang-orang Jawa yang gemar bertirakat. Menepis kerakusan serta keserakahan dengan menahan diri seperti dengan berpuasa ataupun bertapa. Kehidupan spiritual ini cukup kental khususnya di wilayah-wilayah pinggiran kota yang dekat dan bersentuhan langsung dengan alam.
Adanya perhitungan hari baik hingga kalender tradisional membuktikan bahwa manusia Jawa memahami betul siklus alam sekaligus memiliki intelektual tinggi dari riset yang dulu dilakukan nenek moyangnya. Perhitungan ini berdasarkan gejala alam berupa musim, arah angin, intensitas matahari hingga kondisi geografis pada sebuah wilayah, bukan sebagai tanda peringatan peristiwa religius maupun heroisme di masa lampau. Seringnya gagal panen akibat musim maupun serangan hama dapat terjadi belakangan ini kemungkinan akibat penggunaan perhitungan / penanggalan kurang relevan tersebut. Ditambah penggunaan zat-zat kimia yang kadang merusak tanah itu sendiri. Sayangnya kearifan tersebut sering disalahartikan. Menganggap semua hari itu baik demi kelangsungan karsa manusia.
Apa jadinya alam ini jika tak terkendali oleh sebuah tatanan?
Penebangan pohon semaunya untuk dibangun perumahan hingga gedung-gedung pencakar langit. Menanam tanaman sewaktu-waktu dengan komoditas yang kurang sesuai dengan wilayahnya, yang penting nilai ekonomi tinggi. Manusia dapat dengan rakusnya menangkap ikan tanpa memperhatikan keberlangsungan ekosistem laut. Pernikahan yang tak terkendali tanpa perhitungan hari baik.
Tentu saja semua itu akan merusak keseimbangan alam itu sendiri. Jika hal itu yang terjadi maka alam tentu saja melakukan proses keseimbangannya sendiri, yang itu kadang membuat kesengsaraan semua manusia. Bukan hanya pada pelaku kerusakan.