-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Sajak Putih
Sajak Putih Beribu saat dalam kenangan Surut perlahan Kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh Sewaktu detik pun jatuh Kita dengar bumi yang tua dalam setia Kasih tanpa suara Sewaktu bayang-bayang kita memanjang Mengabur batas ruang Kita pun bisu tersekat dalam pesona Sewaktu ia pun memanggil-manggil Sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil Di luar cuaca
-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Metamorfosis
Metamorfosis Ada yang sedang menanggalkan kata-kata yang satu demi satu mendudukkanmu di depan cermin dan membuatmu bertanya tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu menimbang-nimbang hari lahirmu mereka-reka sebab-sebab kematianmu ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu.
-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Hujan Dalam Komposisi, 3 (1969)
Hujan Dalam Komposisi, 3 dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan
-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Hujan Dalam Komposisi, 2 (1969)
Hujan Dalam Komposisi, 2 Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apa yang kita harapkan? Hujan juga terjatuh di jalan yang panjang, menusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan. Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan, Selamat tidur.
-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Hujan Dalam Komposisi, 1 (1969)
Hujan Dalam Komposisi, 1 Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan? Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang. “Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.
-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Akulah Si Telaga (1982)
Akulah Si Telaga akulah si telaga: berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja — perahumu biar aku yang menjaganya.
-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Kita Saksikan (1967)
Kita Saksikan kita saksikan burung-burung lintas di udara kita saksikan awan-awan kecil di langit utara waktu itu cuaca pun senyap seketika sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya di antara hari buruk dan dunia maya kita pun kembali mengenalnya kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
-
Puisi Karya Sapardi Djoko Damono – Sajak Tafsir
Sajak Tafsir Kau bilang aku burung? Jangan sekali-kali berkhianat kepada sungai, ladang, dan batu. Aku selembar daun terakhir yang mencoba bertahan di ranting yang membenci angin. Aku tidak suka membayangkan keindahan kelebat diriku yang memimpikan tanah, tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku ke dalam bahasa abu. Tolong tafsirkan aku sebagai daun terakhir agar suara angin yang meninabobokan ranting itu padam. Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat untuk bisa lebih lama bersamamu. Tolong ciptakan makna bagiku, apa saja — aku selembar daun terakhir yang ingin menyaksikanmu bahagia ketika sore tiba.